Mengingat Operasi Seroja, Ketika Terjadi Provokasi Di Lepas Pantai Dili!
Meski kebanyakan kegiatan operasi Seroja berlangsung di wilayah daratan, tapi tidak bisa dipungkiri dukungan operasi lintas laut dan udara juga memegang peranan yang vital. Dari serangkain babak operasi Seroja, awal pendaratan pasukan TNI menjadi momen yang krusial, disinilah peran dari unsur armada kapal perang sebagai elemen pelindung dan kapal pendarat/LST (landing ship tank) mengambil porsi yang menentukan. Disadur dari buku Perjuangan Integrasi Timor Timur, karya Hendro Subroto, berikut disarikan beberapa kejadian yang melibatkan peran artileri kapal perang.
25 Agustus 1975 – Mengingat gawatnya situasi di Dili. Lepas tengah malam di pagi buta, KRI Monginsidi 343 dibawah Mayor (Laut) Harinto selaku Komandan, membawa satu kontingen yang dipimpin oleh Kolonel (Art) Soebijakto untuk melaksanakan perintah menjemput pengungsi di Dili memenuhi permintaan Pemerintah Portugal.
KRI Monginsidi 343 dengan awak 175 personel diikuti empat kapal dagang yang diperbantukan dari Indonesia Timur untuk mengangkut pengungsi. Semula Mayor Harianto akan membuang sauh agak jauh dari pelabuhan untuk menghindari kemungkinan terjadinya serangan mortir, tetapi Kolonel Soebijakto lulusan Artillery Advanced Course Amerika Serikat tahun 1962, memerintahkan kepadanya aga lego jangkar di dekat pelabuhan.
Menurut Kolonel Soebijakto, mortir sebagai senjata lengkung, sulit untuk menembak sasaran secara tepat (pin point). Menurut teori, kemungkinan perkenaan tembakkan mortir sebagai senjata lengkung untuk dapat mengenai sasaran adalah 2.500 berbanding 1.
Akhirnya KRI Monginsidi lego jangkar pada jarak kira-kira satu kilometer dari dermaga Dili dan menutup jalur keluar masuk ke pelabuhan menjelang pukul 03.00 pagi. Saat itu ancaman yang potensial diwaspadai adalah mortir kaliber sedang 80 mm milik Fretilin.
29 Agustus 1975 – KRI Monginsidi beserta empat kapal dagang yang mengangkut Konsulat RI dan Konsultan Taiwan beserta keluarganya. Arah pengungsian mengambil tujuan ke Kupang, Makassar, dan Denpasar. Setelah KRI Monginsidi meninggalkan Dili, maka Ibu Kota Timor Timur itu pecah petempuran kembali.
21 November 1975– Pukul 20.00, KRI Ratulangi melakukan penembakkan kanon 100 mm (3,9 inchi) ke arah Atabae, Tailaco, dan Bebao. Lalu pada pukul 04.00 keesolah harinya, KRI Ratulangi melakukan bantuan tembakkan kapal gelombang kedua.
Dalam pelayaran menuju Dili, Letnan Kolonel Laut (P) Pramono Sumantri selaku komandan kapal tender kapal selam KRI Ratulangi, Kolonel Laut (P) Rudolf Kasenda dan Kolonel Laut (P) Gatot Suwardi berkumpul di ruang radar, setelah menerima laporan bahwa pada layar radar tampak dua echo yang sangat tajam. Echo itu dapat dipastikan berasal dari kapal perang. Hal ini sesuai dengan laporan kapten pesawat AC-47 Gunship TNI AU yang mengatakan bahwa dua kapal perang tidak dikenal menuju ke perairan Timor. Salah satu kapal perang itu kemudian diketahui bernama Alfonso de Albuquerque.
KRI Ratulangi. Kapal komando ini memiliki 4 pucuk kanon 100 mm dan kanon 8 pucuk kanon 57 mm
KRI Ratulangi. Kapal komando ini memiliki 4 pucuk kanon 100 mm dan kanon 8 pucuk kanon 57 mm
Dalam buku Jane’s Fighting Ships 1974-1975 yang menjadi patokan petunjuk bagi kapal-kapal perang AL Dunia menyebutkan bahwa Alfonso de Albuquerque (A526) adalah eks frigat HMS Dalrymple dan HMS Luce Bay dari AL Inggris kelas Bay. Frigat ini diluncurkan di galangan kapal Devenport, Inggris pada tahun 1945, dibeli oleh Portugal pada tahun 1966, kemudian dimodifikasi menjadi kapal survei yang dibekali radar dan sonar.
Sebuah kapal perang AL Portugal lainnya, mungkin dari kelas Comandante Joao Belo yang dipersenjatai dengan tiga kanon kaliber 100 mm atau frigat kelas Almirante Pereira da Silva dengan empat kanon kaliber 76 mm. Baik kapal perang Alfonso de Albuquerque maupun sebuah frigat AL Portugal telah diketahui keberadaannya di sekitar Laut Timor sejak 1 Oktober 1975.
Bahkan ketika salah satu kapal perang Portugal itu berpapasan dengan KRI Ratulangi pada 23 Oktober 1975, komandan frigat AL Portugal menyampaikan ucapan, “Have a Nice Stay” kepada komandan KRI Ratulangi yang dikirim dalam bentuk morse. Kedua kapal perang AL Portugal itu masuk ke area lepas pantai Dili pada 7 Desember 1975 pagi bertepatan dengan berlangsungnya pendaratan amfibi dan penerjunan operasi lintas udara.
Menengok sejarah Perang Pasifik, armada AL Kerajaan Jepang di bawah pimpinan Laksamana Nagamo menyerang Pearl Harbour pada 7 Desember 1941. Hari H yang dipilih oleh Laksamana Nagamo adalah hari Minggu pagi, ketika AL AS tidak bersiaga. Uniknya tanggal 7 Desember 1975 juga bertepatan dengan hari Minggu. Melihat pertimbangan diatas, dan dikaitakan dengan suhu politik yang memanas, maka cukup alasan bagi Laksamana J.B Pinheiro de Azwedo, mantan KSAL Portugal baru tiga bulan menjabat sebagai Perdana Menteri untuk mewaspadai tanggal 7 Desember sebagai hari yang mungkin dipilih sebagai H penyerbuan.
Jika tanggal 7 Desember diproyeksikan sebagai “Hari-H”, maka kemungkinan besar, “Jam-J” akan dimulai menjelang fajar untuk memanfaatkan pendadakan di pagi hari dan melakukan konsolidasi pada siang hari.
7 Desember 1975 – Saat melakukan persiapan pendaratan amfibi di Kampung Alor, Dili. Komando Tugas Amfibi Operasi Seroja di bawah pimpinan Kolonel Laut (P) Gatot Suwardi dibanyang-bayangi oleh dua kapal perang Portugal. Menjelang fajar kedua kapal Portugal itu nampak samar-samar, ternyata kanon kapal perangnya ditutup dengan terpal sebagai tanda tidak bermusuhan.
“Seandainya kapal perang Portugal itu tidak menutup kanonnya dengan terpal, mungkin kami terpaksa menembak lebih dahulu,” ujar Laksamana TNI (Purn) Rudol Kasenda. Letnan Kolonel Laut (P) Pramono Sumantri, memproyeksikan 4 kanon kaliber 100 mm untuk menghadapi kapal perang Portugal dan 8 kanon kaliber 57 mm untuk mendukung pendaratan amfibi. Menjelang pukul 05.00 BTP-5/Infantri Marinir melakukan pendaratan amfibi di Kampung Alor, didukung tembakkan kanon dari KRI Ratulangi. Jarak antara KRI Ratulangi dan frigat AL Portugal hanya 4 mil atau sekitar 7 km, suatu jarak yang sangat dekat untuk pertempuran laut.
Bila dilihat dari perimbangan jangkauan tembakkan dan bobot proyektil, maka kapal perang TNI AL jauh lebih unggul. Kanon kaliber 100 mm pada KRI Ratulangi mempunyai jangkauan tembakkan 30 persen lebih besar ketimbang dengan kanon berkaliber yang sama buatan Barat. KRI Ratulangi eks kapal tender kapal selam Uni Soviet kelas Don, dipersenjatai dengan 4 kanon 100 mm dan 8 kanon kaliber 57 mm. Sedangkan korvet KRI Barakuda dalam komando Tugas Amfibi dipersenjatai kanon 37 mm juga merupakan kapal perang eks Uni Soviet dari kelas Kronstadt.
Kanon 100 mm pada KRI Ratulangi maupun pada dua frigat eks Soviet kelas Riga, masing-masing KRI Lambung Mangkurat dan KRI Nuku, memiliki jarak tembak sejauh 18 km. Kanon berkaliber yang sama buatan Barat umumnya hanya memiliki jarak tembak maksimal 11.000 sampai 12.000 meter. Selain itu, proyektil kanon buatan Uni Soviet berbobot 16 kg, yang berarti lebih berat dibanding proyektil kanon kaliber yang sama buatan Barat. Kanon kaliber 100 mm pada frigat kelas Commandante Joao Belo milik AL Portugal, sejenis dengan kanon Creusot Loure 100 mm pada destroyer kelas La Galissonniere milik AL Perancis, yaitu berjarak tembak maksimal 11.000 meter dengan proyektil seberat 13,5 kg.
Mungkin berdasarkan pada perbedaan jarak tembak itu, maka frigat AL Portugal memilih mendekat pada Komando Tugas Amfibi Operasi seroja, agar tembakkan kanon perangnya dapat menjangkau sasaran. Langkah itu diambil sebagai tindakan berjaga-jaga seandainya pecah pertempuran laut.
Laksamana (Purn) Rudolf Kasenda, mantan KSAL menambahkan, “Jika sebuah saja peluru kanon 100 mm pada kapal perangnya tepat mengenai sasaran frigat Portugal, maka akan dapat melumpuhkannya.”
NRP Commandante Joao Belo, frigat berbobot 1.750 ton buatan Perancis ini dilengkapi peralatan elektronik canggih pada masanya. Senjata utamanya 3 pucuk kanon kaliber 100 mm. Saat ini sudah dimodifikasi agar mampu membawa rudal MM-38 Exocet.
Tapi disisi lain, kekurangan suku cadang pada kapal-kapal perang eks Uni Soviet dalam jajaran TNI AL dapat mempengaruhi jalannya pertempuran laut. Misalnya jika gyro stabilizer, yaitu suatu bagian pada alat pengendali tembakkan untuk mempertahankan elevasi kanon sesuai dengan sudut yang telah diprogram tidak bekerja dengan baik, maka akan mengakibatkan perkenaan tembakkan kanon yang dioperasikan secara manual itu akan melenceng dari sasaran.
Seperti telah diketahui sejak tahun 1965, Uni Soviet enggan menjual suku cadang peralatan militernya kepada Indonesia. Sebaliknya kanon 100 mm pada frigat kelas Commandate Joao Belo milik AL Portugal merupakan kanon jenis baru buaatan tahun 1969 yang memiliki peralatan serba otomatis dan kubahnya dioperasikan tanpa awak. Kanon 100 mm standar AL Perancis yang pembuatannya berdasar pada program Director Techloque des Constructions Navale ini mampu menembakkan 60 proyektil per menit.
Jika frigat AL Portugal itu adalah kelas Almirante Pereira da Silva, maka persenjataanya berupa empat kanon kaliber 76 mm dan dua kanon Bofors kaliber 40 mm, masing-masing dengan 4 laras.
Pukul 02.00, kapal-kapal Komando Tugas Amfibi TNI AL tiba di lepas pantai Dili. Tiba-tiba pada pukul 03.00, seluruh listrik kota dipadamkan. Berarti Fretilin telah mengetahui kedatangan kapal-kapal perang TNI AL, sehingga faktor pendadakan dalam suatu serangan telah hilang. Malam itu seluruh kapal menyalakan lampu. Pada jarak lebih dari 10 km dari Dili maupun dari Pulau Atauro, kapal-kapal perang itu tidak akan terlihat dengan mata telanjang pada malam gelap. Di Dili tidak terdapat radar, satu-satunya kemungkinan yang dapat melihat keberadaan konvoi TNI AL adalah radar kapal perang AL yang memang sejak awal membayang-bayangi.
Laksamana (Purn) Rudolf Kasenda memastikan bahwa frigat AL Portugal telah memberikan informasi kedatangan Komando Tugas Amfibi Operasi Seroja kepada Fretilin di Dili. Informasi itu dapat disampaikan lewat markas Pasukan Para Portugal di Pulau Atauro atau langsung ke markas besar Fretilin di Dili. Sebenarnya pemadaman lampu kota Dili dapat juga terjadi secara kebetulan. Misalnya Fretilin sedang melakukan latihan, tetapi kemungkinan itu sangat kecil dan dapat diabaikan. Nyatanya di kemudian hari memang dapat dibuktikan bahwa terjadi komunikasi radio ‘segi tiga’ antara Pasukan Para Portugal di Pulau Atauro, Markas Besar Fretilin di Dili dengan kapal perang AL Portugal.
Menurut R. Kasenda, dalam rapat gabungan di Kupang pada 4 Desember 1975, telah diputuskan bahwa kapal perang TNI AL tidak melakukan penembakkan dari laut. Namun demikian karena faktor kerahasiaan dan pendadakan kedatangan Komando Tugas Amfibi telah diketahui lawan, akhirnya Brigjen TNI Suweno selaku Pangkosgasgab memerintahkan penembakkan ke pantai, atau popular dengan istilah BTK (bantuan tembakkan kapal).
USS Askari, sesudah menjadi milik TNI AL pada tahun 1971, berganti nama menjadi KRI Jaya Wiaya. Repair ship kelas Achelous ini digunakan AS pada perang Korea dan perang Vietnam.
USS Askari, sesudah menjadi milik TNI AL pada tahun 1971, berganti nama menjadi KRI Jaya Wiaya. Repair ship kelas Achelous ini digunakan AS pada perang Korea dan perang Vietnam.
Pertimbangan penembakan ini dilakukan untuk menurunkan moril lawan dan mengangkat moril pasukan pendarat. KRI Ratulangi menembak dengan kanon 57 mm, KRI Barakuda dan KRI Martadinata menembak dengan kanon kaliber 76 mm. Sedangkan KRI Jaya Wijaya, eks USS Askari menembakkan 4 kanon laras ganda Bofors dengan proyektil high explosive seberat 0,96 kg. Sasaran tembakkan adalah daerah pantai yang akan menjadi lokasi pendaratan dan markas Fretilin. Tembakkan dari kapal perang TNI AL itu bukan saja membuat kalang kabut warga kota Dili, tetapi juga mencemaskan pengungsi Portugal di kampong Makadade di Pulau Atauro. Dua pleton pasukan elite dan warga Portugal yang sedang menantikan kedatangan kapal perang AL Portugal yang akan mengungsi ke Australia, buru-buru menuju ke dermaga untuk kemudian diangkut dengan LCM menuju frigat.
Dengan demikian, dimulailah operasi pendaratan amfibi terbesar yang dilakukan Korps Marinir TNI AL. Unsur pendaratan yang tegabung dalam BTP-5 terdiri dari unsur pasukan tempur juga dilengkapi tank amfibi PT-76 dan pansam BTR-50. Selain pendaratan lewat laut, pada hari yang sama, elemen TNI AD (Kopassus/Kostrad) dan Paskhas TNI AU juga melakukan penerjunan pasukan lintas udara untuk menduduki posisi-posisi strategis di Dili.
sumber : indomiliter
25 Agustus 1975 – Mengingat gawatnya situasi di Dili. Lepas tengah malam di pagi buta, KRI Monginsidi 343 dibawah Mayor (Laut) Harinto selaku Komandan, membawa satu kontingen yang dipimpin oleh Kolonel (Art) Soebijakto untuk melaksanakan perintah menjemput pengungsi di Dili memenuhi permintaan Pemerintah Portugal.
KRI Monginsidi 343 dengan awak 175 personel diikuti empat kapal dagang yang diperbantukan dari Indonesia Timur untuk mengangkut pengungsi. Semula Mayor Harianto akan membuang sauh agak jauh dari pelabuhan untuk menghindari kemungkinan terjadinya serangan mortir, tetapi Kolonel Soebijakto lulusan Artillery Advanced Course Amerika Serikat tahun 1962, memerintahkan kepadanya aga lego jangkar di dekat pelabuhan.
Menurut Kolonel Soebijakto, mortir sebagai senjata lengkung, sulit untuk menembak sasaran secara tepat (pin point). Menurut teori, kemungkinan perkenaan tembakkan mortir sebagai senjata lengkung untuk dapat mengenai sasaran adalah 2.500 berbanding 1.
Akhirnya KRI Monginsidi lego jangkar pada jarak kira-kira satu kilometer dari dermaga Dili dan menutup jalur keluar masuk ke pelabuhan menjelang pukul 03.00 pagi. Saat itu ancaman yang potensial diwaspadai adalah mortir kaliber sedang 80 mm milik Fretilin.
29 Agustus 1975 – KRI Monginsidi beserta empat kapal dagang yang mengangkut Konsulat RI dan Konsultan Taiwan beserta keluarganya. Arah pengungsian mengambil tujuan ke Kupang, Makassar, dan Denpasar. Setelah KRI Monginsidi meninggalkan Dili, maka Ibu Kota Timor Timur itu pecah petempuran kembali.
21 November 1975– Pukul 20.00, KRI Ratulangi melakukan penembakkan kanon 100 mm (3,9 inchi) ke arah Atabae, Tailaco, dan Bebao. Lalu pada pukul 04.00 keesolah harinya, KRI Ratulangi melakukan bantuan tembakkan kapal gelombang kedua.
Dalam pelayaran menuju Dili, Letnan Kolonel Laut (P) Pramono Sumantri selaku komandan kapal tender kapal selam KRI Ratulangi, Kolonel Laut (P) Rudolf Kasenda dan Kolonel Laut (P) Gatot Suwardi berkumpul di ruang radar, setelah menerima laporan bahwa pada layar radar tampak dua echo yang sangat tajam. Echo itu dapat dipastikan berasal dari kapal perang. Hal ini sesuai dengan laporan kapten pesawat AC-47 Gunship TNI AU yang mengatakan bahwa dua kapal perang tidak dikenal menuju ke perairan Timor. Salah satu kapal perang itu kemudian diketahui bernama Alfonso de Albuquerque.
KRI Ratulangi. Kapal komando ini memiliki 4 pucuk kanon 100 mm dan kanon 8 pucuk kanon 57 mm
KRI Ratulangi. Kapal komando ini memiliki 4 pucuk kanon 100 mm dan kanon 8 pucuk kanon 57 mm
Dalam buku Jane’s Fighting Ships 1974-1975 yang menjadi patokan petunjuk bagi kapal-kapal perang AL Dunia menyebutkan bahwa Alfonso de Albuquerque (A526) adalah eks frigat HMS Dalrymple dan HMS Luce Bay dari AL Inggris kelas Bay. Frigat ini diluncurkan di galangan kapal Devenport, Inggris pada tahun 1945, dibeli oleh Portugal pada tahun 1966, kemudian dimodifikasi menjadi kapal survei yang dibekali radar dan sonar.
Sebuah kapal perang AL Portugal lainnya, mungkin dari kelas Comandante Joao Belo yang dipersenjatai dengan tiga kanon kaliber 100 mm atau frigat kelas Almirante Pereira da Silva dengan empat kanon kaliber 76 mm. Baik kapal perang Alfonso de Albuquerque maupun sebuah frigat AL Portugal telah diketahui keberadaannya di sekitar Laut Timor sejak 1 Oktober 1975.
Bahkan ketika salah satu kapal perang Portugal itu berpapasan dengan KRI Ratulangi pada 23 Oktober 1975, komandan frigat AL Portugal menyampaikan ucapan, “Have a Nice Stay” kepada komandan KRI Ratulangi yang dikirim dalam bentuk morse. Kedua kapal perang AL Portugal itu masuk ke area lepas pantai Dili pada 7 Desember 1975 pagi bertepatan dengan berlangsungnya pendaratan amfibi dan penerjunan operasi lintas udara.
Menengok sejarah Perang Pasifik, armada AL Kerajaan Jepang di bawah pimpinan Laksamana Nagamo menyerang Pearl Harbour pada 7 Desember 1941. Hari H yang dipilih oleh Laksamana Nagamo adalah hari Minggu pagi, ketika AL AS tidak bersiaga. Uniknya tanggal 7 Desember 1975 juga bertepatan dengan hari Minggu. Melihat pertimbangan diatas, dan dikaitakan dengan suhu politik yang memanas, maka cukup alasan bagi Laksamana J.B Pinheiro de Azwedo, mantan KSAL Portugal baru tiga bulan menjabat sebagai Perdana Menteri untuk mewaspadai tanggal 7 Desember sebagai hari yang mungkin dipilih sebagai H penyerbuan.
Jika tanggal 7 Desember diproyeksikan sebagai “Hari-H”, maka kemungkinan besar, “Jam-J” akan dimulai menjelang fajar untuk memanfaatkan pendadakan di pagi hari dan melakukan konsolidasi pada siang hari.
7 Desember 1975 – Saat melakukan persiapan pendaratan amfibi di Kampung Alor, Dili. Komando Tugas Amfibi Operasi Seroja di bawah pimpinan Kolonel Laut (P) Gatot Suwardi dibanyang-bayangi oleh dua kapal perang Portugal. Menjelang fajar kedua kapal Portugal itu nampak samar-samar, ternyata kanon kapal perangnya ditutup dengan terpal sebagai tanda tidak bermusuhan.
“Seandainya kapal perang Portugal itu tidak menutup kanonnya dengan terpal, mungkin kami terpaksa menembak lebih dahulu,” ujar Laksamana TNI (Purn) Rudol Kasenda. Letnan Kolonel Laut (P) Pramono Sumantri, memproyeksikan 4 kanon kaliber 100 mm untuk menghadapi kapal perang Portugal dan 8 kanon kaliber 57 mm untuk mendukung pendaratan amfibi. Menjelang pukul 05.00 BTP-5/Infantri Marinir melakukan pendaratan amfibi di Kampung Alor, didukung tembakkan kanon dari KRI Ratulangi. Jarak antara KRI Ratulangi dan frigat AL Portugal hanya 4 mil atau sekitar 7 km, suatu jarak yang sangat dekat untuk pertempuran laut.
Bila dilihat dari perimbangan jangkauan tembakkan dan bobot proyektil, maka kapal perang TNI AL jauh lebih unggul. Kanon kaliber 100 mm pada KRI Ratulangi mempunyai jangkauan tembakkan 30 persen lebih besar ketimbang dengan kanon berkaliber yang sama buatan Barat. KRI Ratulangi eks kapal tender kapal selam Uni Soviet kelas Don, dipersenjatai dengan 4 kanon 100 mm dan 8 kanon kaliber 57 mm. Sedangkan korvet KRI Barakuda dalam komando Tugas Amfibi dipersenjatai kanon 37 mm juga merupakan kapal perang eks Uni Soviet dari kelas Kronstadt.
Kanon 100 mm pada KRI Ratulangi maupun pada dua frigat eks Soviet kelas Riga, masing-masing KRI Lambung Mangkurat dan KRI Nuku, memiliki jarak tembak sejauh 18 km. Kanon berkaliber yang sama buatan Barat umumnya hanya memiliki jarak tembak maksimal 11.000 sampai 12.000 meter. Selain itu, proyektil kanon buatan Uni Soviet berbobot 16 kg, yang berarti lebih berat dibanding proyektil kanon kaliber yang sama buatan Barat. Kanon kaliber 100 mm pada frigat kelas Commandante Joao Belo milik AL Portugal, sejenis dengan kanon Creusot Loure 100 mm pada destroyer kelas La Galissonniere milik AL Perancis, yaitu berjarak tembak maksimal 11.000 meter dengan proyektil seberat 13,5 kg.
Mungkin berdasarkan pada perbedaan jarak tembak itu, maka frigat AL Portugal memilih mendekat pada Komando Tugas Amfibi Operasi seroja, agar tembakkan kanon perangnya dapat menjangkau sasaran. Langkah itu diambil sebagai tindakan berjaga-jaga seandainya pecah pertempuran laut.
Laksamana (Purn) Rudolf Kasenda, mantan KSAL menambahkan, “Jika sebuah saja peluru kanon 100 mm pada kapal perangnya tepat mengenai sasaran frigat Portugal, maka akan dapat melumpuhkannya.”
NRP Commandante Joao Belo, frigat berbobot 1.750 ton buatan Perancis ini dilengkapi peralatan elektronik canggih pada masanya. Senjata utamanya 3 pucuk kanon kaliber 100 mm. Saat ini sudah dimodifikasi agar mampu membawa rudal MM-38 Exocet.
Tapi disisi lain, kekurangan suku cadang pada kapal-kapal perang eks Uni Soviet dalam jajaran TNI AL dapat mempengaruhi jalannya pertempuran laut. Misalnya jika gyro stabilizer, yaitu suatu bagian pada alat pengendali tembakkan untuk mempertahankan elevasi kanon sesuai dengan sudut yang telah diprogram tidak bekerja dengan baik, maka akan mengakibatkan perkenaan tembakkan kanon yang dioperasikan secara manual itu akan melenceng dari sasaran.
Seperti telah diketahui sejak tahun 1965, Uni Soviet enggan menjual suku cadang peralatan militernya kepada Indonesia. Sebaliknya kanon 100 mm pada frigat kelas Commandate Joao Belo milik AL Portugal merupakan kanon jenis baru buaatan tahun 1969 yang memiliki peralatan serba otomatis dan kubahnya dioperasikan tanpa awak. Kanon 100 mm standar AL Perancis yang pembuatannya berdasar pada program Director Techloque des Constructions Navale ini mampu menembakkan 60 proyektil per menit.
Jika frigat AL Portugal itu adalah kelas Almirante Pereira da Silva, maka persenjataanya berupa empat kanon kaliber 76 mm dan dua kanon Bofors kaliber 40 mm, masing-masing dengan 4 laras.
Pukul 02.00, kapal-kapal Komando Tugas Amfibi TNI AL tiba di lepas pantai Dili. Tiba-tiba pada pukul 03.00, seluruh listrik kota dipadamkan. Berarti Fretilin telah mengetahui kedatangan kapal-kapal perang TNI AL, sehingga faktor pendadakan dalam suatu serangan telah hilang. Malam itu seluruh kapal menyalakan lampu. Pada jarak lebih dari 10 km dari Dili maupun dari Pulau Atauro, kapal-kapal perang itu tidak akan terlihat dengan mata telanjang pada malam gelap. Di Dili tidak terdapat radar, satu-satunya kemungkinan yang dapat melihat keberadaan konvoi TNI AL adalah radar kapal perang AL yang memang sejak awal membayang-bayangi.
Laksamana (Purn) Rudolf Kasenda memastikan bahwa frigat AL Portugal telah memberikan informasi kedatangan Komando Tugas Amfibi Operasi Seroja kepada Fretilin di Dili. Informasi itu dapat disampaikan lewat markas Pasukan Para Portugal di Pulau Atauro atau langsung ke markas besar Fretilin di Dili. Sebenarnya pemadaman lampu kota Dili dapat juga terjadi secara kebetulan. Misalnya Fretilin sedang melakukan latihan, tetapi kemungkinan itu sangat kecil dan dapat diabaikan. Nyatanya di kemudian hari memang dapat dibuktikan bahwa terjadi komunikasi radio ‘segi tiga’ antara Pasukan Para Portugal di Pulau Atauro, Markas Besar Fretilin di Dili dengan kapal perang AL Portugal.
Menurut R. Kasenda, dalam rapat gabungan di Kupang pada 4 Desember 1975, telah diputuskan bahwa kapal perang TNI AL tidak melakukan penembakkan dari laut. Namun demikian karena faktor kerahasiaan dan pendadakan kedatangan Komando Tugas Amfibi telah diketahui lawan, akhirnya Brigjen TNI Suweno selaku Pangkosgasgab memerintahkan penembakkan ke pantai, atau popular dengan istilah BTK (bantuan tembakkan kapal).
USS Askari, sesudah menjadi milik TNI AL pada tahun 1971, berganti nama menjadi KRI Jaya Wiaya. Repair ship kelas Achelous ini digunakan AS pada perang Korea dan perang Vietnam.
USS Askari, sesudah menjadi milik TNI AL pada tahun 1971, berganti nama menjadi KRI Jaya Wiaya. Repair ship kelas Achelous ini digunakan AS pada perang Korea dan perang Vietnam.
Pertimbangan penembakan ini dilakukan untuk menurunkan moril lawan dan mengangkat moril pasukan pendarat. KRI Ratulangi menembak dengan kanon 57 mm, KRI Barakuda dan KRI Martadinata menembak dengan kanon kaliber 76 mm. Sedangkan KRI Jaya Wijaya, eks USS Askari menembakkan 4 kanon laras ganda Bofors dengan proyektil high explosive seberat 0,96 kg. Sasaran tembakkan adalah daerah pantai yang akan menjadi lokasi pendaratan dan markas Fretilin. Tembakkan dari kapal perang TNI AL itu bukan saja membuat kalang kabut warga kota Dili, tetapi juga mencemaskan pengungsi Portugal di kampong Makadade di Pulau Atauro. Dua pleton pasukan elite dan warga Portugal yang sedang menantikan kedatangan kapal perang AL Portugal yang akan mengungsi ke Australia, buru-buru menuju ke dermaga untuk kemudian diangkut dengan LCM menuju frigat.
Dengan demikian, dimulailah operasi pendaratan amfibi terbesar yang dilakukan Korps Marinir TNI AL. Unsur pendaratan yang tegabung dalam BTP-5 terdiri dari unsur pasukan tempur juga dilengkapi tank amfibi PT-76 dan pansam BTR-50. Selain pendaratan lewat laut, pada hari yang sama, elemen TNI AD (Kopassus/Kostrad) dan Paskhas TNI AU juga melakukan penerjunan pasukan lintas udara untuk menduduki posisi-posisi strategis di Dili.
sumber : indomiliter
BERITA LENGKAP DI HALAMAN BERIKUTNYA
Halaman Berikutnya
0 Response to "Mengingat Operasi Seroja, Ketika Terjadi Provokasi Di Lepas Pantai Dili!"
Posting Komentar